Pages

Banner 468 x 60px

 

Selasa, 08 Januari 2013

Perkembangan Sastra Jerman

0 komentar


Sebelum menilik perkembangan sastra Jerman, mari kita telisik terlebih dahulu definisi mengenai sastra.


Apa Definisi Sastra?

Berikut penulis kutip definisi-definisi dari beberapa sumber.

Menurut Wikipedia:


“Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.”



Menurut KBBI dalam Jay adalah Yulian (2004(blog)):



“(1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
(2) karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.”



Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya definisi sastra merujuk pada satu pengertian yang sama, yakni sebuah karya tulisan/teks yang diungkapkan oleh penulisnya dengan mempergunakan bahasa yang indah. Dra. Elyusra, M.Pd. (2007) berpendapat bahwa sudah banyak definisi sastra yang dikemukakan oleh para ahli. Pada dasarnya, definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraikan dengan kata dan bahasa yang berbeda. Namun sekarang kita perhatikan pernyataan Dr. Abdullah, Dahana, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam Jay adalah Yulian (2004(blog)) berikut ini.



“Kebanyakan kaum awam menganggap sastra hanyalah ilmu yang mengurusi kesusastraan saja. Padahal arti sastra sesungguhnya itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan secara luas. Itulah salah satu penyebab Fakultas Sastra berganti baju menjadi Fakultas Ilmu Budaya.”



Sesungguhnya sastra memiliki hubungan erat dengan budaya/kebudayaan, sebab melalui (karya) sastra, kebudayaan dapat dilestarikan. Seperti karya-karya puisi lama Indonesia berupa pantun, syair, gurindam, dsb., yang secara langsung maupun tidak langsung menyalurkan kebudayaan ke generasi selanjutnya, atau melaui karya-karya prosa maupun drama. Begitu banyak karya sastra yang telah mewakili kebudayaan untuk tetap terjaga.



Sastrawan dan Perkembangan Sastra Jerman

Telah kita ketahui bersama bahwa sebuah karya sastra dunia umumnya berupa puisi, prosa (cerpen, novel, dsb.), dan drama. Bentuk puisi berupa kata-kata indah, singkat, dan padat makna, dan biasanya diungkapkan dengan berbait-bait. Karya prosa berbentuk tulisan indah dengan gaya bahasa yang bebas dengan paragraf. Dan drama, berupa tulisan dialog-dialog antarmanusia (peran), yang pada akhirnya dipentaskan (berupa teater).

Di antara sederet sastrawan Jerman kita tahu nama-nama besar seperti Karl May, Sigmund Freud, Herta Müller, Wolfgang von Goethe, dsb. Merekalah pengarang-pengarang besar Jerman yang menghasilkan puisi, prosa, maupun drama, seperti halnya Taufiq Ismail, W.S. Rendra (alm.), Chairil Anwar, dan lain sebagainya.

Menilik perkembangan sastra di negara tersebut sangatlah menarik. Dalam Fakta Mengenai Jerman (2009):



“Jerman negara buku: Dengan lebih dari 95.000 judul buku baru dan cetakan ulang per tahun, Jerman termasuk negara penghasil buku terkemuka di dunia. Setiap tahun dijual hampir 9.000 lisensi untuk penerbitan edisi terjemahan buku Jerman di luar negeri. Setiap bulan Oktober dunia penerbitan berkumpul di Jerman untuk menghadiri pertemuan terbesar di sektor perbukuan, Pekan Raya Buku Internasional Frankfurt. Pekan raya buku lebih kecil yang dilaksanakan pada musim semi di Leipzig sementara itu menjadi acara tetap yang cukup berhasil.”



Dari paragraf ini (dengan menggarisbawahi ‘…Jerman termasuk negara penghasil buku terkemuka di dunia.’), penulis berpendapat bahwa perkembangan literasi negara Jerman sangat baik. Namun dengan menarik logika, apakah kuantitas buku yang diterbitkan berbanding lurus dengan kualitas buku serta kuantitas pembaca? Mari kita perhatikan paragraf selanjutnya, masih dalam Fakta Mengenai Jerman.



“Biarpun ada internet dan televisi, masyarakat Jerman tetap suka membaca. Di dunia sastra akhir-akhir ini terjadi perkembangan menarik. Generasi pengarang yang terkemuka di masa pascaperang, seperti Hans Magnus Enzensberger, Siegfried Lenz, Christa Wolf, dan penerima Hadiah Nobel Sastra Günter Grass, masih tetap diperhatikan, namun pada awal abad ke-21 ini karya mereka tidak lagi melambangkan inovasi estetis.”



Ya! Tentu, pembaca pun begitu banyak, sebanyak karya yang dilahirkan. Karya-karya pengarang terkemuka dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Namun, di sini kita menemukan poin penting tentang perkembangan sastra Jerman. ‘Kehidupan’ sastra sedang mengalami kemunduran di negara kampung halaman Adolf Hitler tersebut.



“Seusai Perang Dunia II, pengarang mencari jawaban atas masalah moral, dan setelah tahun 1968 karya sastra umumnya mengandung analisis sosial. Berbeda dengan hal itu, sastra pada tahun-tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin ditandai oleh budaya massa yang memperbesar setiap acara menjadi peristiwa dan setiap pengarang menjadi bintang pop. Dan sekarang? Apa yang mendominasi pasaran buku Jerman? Tradisi mengarang dilanjutkan pada taraf tinggi oleh penulis seperti Sten Nadolny, Uwe Timm, F. C. Delius, Brigitte Kronauer dan Ralf Rothmann yang telah berkarya sebelum tahun 90-an. Rasa prihatin akan masa kini, seni sebagai tempat terakhir ketahanan diri – itulah yang terungkap dalam karya Peter Handke dari Austria dan dalam karya Botho Strauß.”



Kemudian di paragraf lain:



“Selama tahun 1980-an dan 90-an, sambutan terhadap karya angkatan muda tidak begitu intensif – kecuali untuk buku bestseller internasional, yaitu Das Parfüm karya Patrick Süskind dan Der Vorleser oleh Bernhard Schlink. Gambaran itu telah berubah sejak pergantian abad.”



“Gejala yang menonjol, batas yang dahulu ditarik antara sastra tinggi dan karya fiksi bersifat hiburan semakin kabur. Slogan mengenai “keterbacaan baru” telah beredar di media bermassa. Telah lewat pula masa hubungan erat antara kehidupan politik dan sastra. Impian mengenai pemberontakan dan ketegaran tetap ada memang; namun yang dianggap penting ialah sifat autentik dalam sastra. Fungsi sastra telah bergeser, apresiasi telah berubah, sebab tidak hanya terjadi kekurangan akan pengarang yang menghasilkan karya ambisius di bidang kemasyarakatan, melainkan juga kurang ada pembaca yang mau membaca buku seperti itu.”

Semakin kita fahami bahwa seakan-akan pengarang-pengarang muda Jerman dewasa ini kurang mendapatkan tempat di hati masyarakat. Pengarang-pengarang kawakan justru lebih banyak berperan.

Permasalahan-permasalahan di atas dapat disebabkan karena kurang variatifnya jenis-jenis (genre) bacaan yang turun ke masyarakat. Dan berdasarkan kalimat terakhir dari paragraf yang penulis kutip belakangan, jelas bahwa kehidupan sastra tengah membutuhkan seorang pembaharu, meskipun kemungkinan karya tersebut untuk dinikmati masyarakat tidak begitu besar dan tidak akan mudah diterima begitu saja. Apresiasi masyarakat akan berbeda-beda.

Ya. Tak ada gading yang tak retak. Tidak semua karya sastra dapat diterima oleh masyarakat begitu saja. Hal ini kembali lagi kepada para pengarang maupun khalayak umum. Terkadang untuk memahami sebuah karya sastra perlu memperhatikan manfaat karya tersebut bagi kita, apakah sesuai dengan kebutuhan kita. Tentu, semua tergantung pada diri masing-masing.




DAFTAR REFERENSI


1. Adalah Yulian, Jay. 2004. “Apa Definisi Sastra?” [Online]. Tersedia: http://yulian.firdaus.or.id/2004/11/26/apa-definisi-sastra/ [29 Oktober 2009].

2. Wikipedia. ”Sastra.” [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra. [29 Oktober 2009].

3. Elyusra. 2007. “Bahan Ajar 2.” [Online]. Tersedia : versi HTML dari berkas http://images.bundaguru.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R5nd5goKCB4AAHfRF8w1/BAHAN%20AJAR%20%202.doc?nmid=79150611. [30 Oktober 2009].

4. Mengenai Jerman, Fakta. “Fakta Mengenai Jerman.” 2009. [Online]. Tersedia: http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/kultur-medien/main-content-09/literatur.html. [28 Oktober 2009].
 Sumber: http://mchmdwhyhdyt.blogspot.com/2010/01/menilik-perkembangan-sastra-jerman.html

0 komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer