Topik
perkembangan linguistik sebagaimana tersurat dalam judul mengimperasi pada
kajian bidang historiografi linguistik atau penyusunan sejarah linguistik.
Menurut Kridalaksana (1985:57), kajian historiografi linguistik merupakan
sarana untuk melihat kembali yang telah dilakukan selama ini, sehingga
diperoleh pemahaman perkembangan konsep, teori, metode, terminologi, dan ciri
deskripsi di bidang bahasa. Oleh karena itu, seperti halnya penyusunan sejarah
pada umumnya, kajian tersebut terpumpun pada pelacakan atas peristiwa masa
lalu. Hal itu berarti kajian ini memerlukan data-data peristiwa linguistis yang
pernah terjadi pada suatu masa, dan di suatu tempat, karena sejarah tidak
pernah lepas dari waktu dan ruang tertentu, bahkan juga tokoh tertentu.
Peristiwa
linguistis apa sajakah yang dapat digunakan sebagai data dalam pengkajian
historiografi? Pertama, tentu saja, penelitian bahasa karena dalam penelitian
bahasa akan tersurat juga teori, konsep, metode, terminolgi, dan karakteristik
deskripsi. Oleh karena itu, karya penelitian di bidang bahasa dapat menjadi
data dalam penyusunan historigrafi. Peristiwa lain, kedua, adalah pengajaran
bahasa karena dalam pengajaran bahasa, khususnya dalam buku-buku pelajaran
bahasa yang digunakan dapat diketahui juga teori, konsep linguistik yang
dianutnya Ketiga, dan inilah yang paling esksplit, adalah penulisan karya
teoritis, yaitu buku yang secara eksklusif memaparkan teori linguistik
tertentu. Singkat kata, segala sesuatu yang membicarakan bahasa dapat menjadi
materi kajian, tidak terbatas pada karya teoritis (Kridalaksana, 1985: 57).
Oleh
sebab kelaziman dalam kajian historis juga, tulisan ini dilakukan dengan pola
urutan kronologis yang terejawantah dalam periodisasi. Periodisasi yang
digunakan didasarkan pada dominasi teori tertentu pada kurun waktu tertentu.
Atas dasar hal tersebut, setelah memetakan beragam teori linguistik yang pernah
dan masih digunakan dalam kancah studi bahasa di Indonesia, berikut secara
berturut-turut akan dibahas (1)periode dominasi tata bahasa tradisional
(sebelum 1965-an), (2)periode dominasi tata bahasa struktural (1965-an s.d.
1985-an), (3)periode dominasi tata bahasa transformasional di tengah variasi
tata bahasa fungsional/pragmatik (1985-an s.d. akhir 1990-an), dan (4)periode
warna-warni teori (awal 2000-an). Istilah dominasi dalam penamaan periodisasi
ini didasari fenomena linguistis bahwa teori-teori tertentu dalam suatu periode
tetap eksis walaupun telah muncul teori baru pada periode berikutnya. Jadi,
harus diakui bahwa teori tata bahasa tradisional, misalnya, sampai sekarang
(awal 2000-an) tetap berpengaruh dan digunakan dalam pengajaran bahasa maupun
penelitian bahasa di Indonesia.
1. Periode Dominasi
Tradisional (Sebelum 1965-an)
Sesungguhnya,
lebih dari tiga abad sebelum 1965-an (tepatnya pada 1653) Joannes Roman telah
menulis tata bahasa Melajoe (baca: bahasa Indonesia). Untuk pendeskripsian
fenomena bahasa Melajoe, ia menggunakan istilah dalam bahasa Belanda yang tidak
lain terjemahan istilah Latin, misalnya dalam penyebutan kelas kata. Oleh
Joannes Ramon kelas kata dalam bahasa Melajoe dibedakan atas (1)namen atau
benda, (2)voornamen atau kata ganti, (3)woorden atau kata kerja, (4)bijwoorden
atau kata keterangan, (5)voorzettingen atau kata depan, (6)koppelingen atau
kata sambung, dan (7)inwurpen atau kata seru (Kridalaksana, 2002:4). Pembagian
kelas kata seperti itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Dyonisius Thrax
(100 SM) atas (1)onoma atau kata benda, (2)antonymia atau kata ganti, (3)rhema
atau kata kerja, (4)epirrhema atau kata keterangan, (5)prothesis atau kata
depan, (6)syndesmoi atau kata sambung, (7)metosche atau partisipel, dan (8)
arthron atau kata sandang (Sulaiman, 1973:15; Pateda, 1990:16).
Semua mafhum bahwa kelas kata ala Thrax merupakan
pengembangan dan perluasan yang pernah dilakukan Aristoteles (300 SM) atas
(1)onoma atau kata benda, (2)rhemata atau kata kerja, dan (3)syndesmoi atau
kata perangkai, ataupun yang pernah dilakukan Plato (400 SM) atas (1)onoma atau
benda, dan (2)rhema atau kerja. Pola pikir Thrax, Aristoteles, dan Plato itu
yang menjadi landasan tata bahasa tradisional, yaitu (1)preskriptif,
(2)nosional, (3)translingual, (4)logikosentris. Preskriptif berarti tata bahasa
tradisional menghakimi penggunaan bahasa atas vonis benar salah (Alwasilah,
1989: 34) atau bersifat menentukan dan mengharuskan (Harsono, 1979: 1). Para
tradisionalian sering membuat aturan-aturan kebahasaan yang dapat dianalogikan
sebagai resep kebahasaan. Tuturan (1) dinilai takberkaidah, karena itu tidak
benar, walaupun tuturan itulah yang pada kenyataannya digunakan penutur bahasa
Indonesia untuk menanyakan nama pada lawan bicara. Menurut tradisionalian,
tuturan (1a), dan (1b) merupakan tuturan yang sesuai dengan kaidah dan
seharusnya digunakan.
* (1) Siapa namanya?
(1a) Siapa namamu?
(1b) Siapa nama Anda?
Hal itu berkaitan dengan ciri lain yang mengabaikan
bahasa lisan dan memumpunkan pada bahasa tulis baku. Artinya, tata bahasa
tradisional cenderung mengacuhtakacuhkan bahasa lisan, dan menganakemaskan
bahasa tulis (dan itupun yang baku) dalam penyusunan aturan-aturan
kebahasaannya. Padahal, bahasa tidak hanya tulis tetapi juga lisan, bahkan yang
lisan itu primer, dan yang tulis itu sekunder. Tidakkah tuturan (1) lebih
sering digunakan daripada tuturan (1a), dan (1b) pada bahasa lisan?
Di samping itu, analisis maupun penjelasan
konsepnya berdasarkan nosi atau arti. Alisjahbana (1980: 79) dalam Tatabahasa
Baru Bahasa Indonesia menjelaskan katabenda atau substantif sebagai berikut.
“Menurut pengertian yang dinamakan katabenda ialah
nama daripada benda dan segala sesuatu yang dibendakan”.
Tidak hanya itu, struktur sintaksispun dibatasi
berdasarkan nosi sehingga batasan itu tidak jelas (Alwasilah, 1989: 35).
Kalimat adalah sekelompok
kata-kata yang menyatakan pikiran lengkap dan memiliki subjek dan predikat.
Subjek adalah sesuatu
tentang mana sesuatu itu dibicarakan.
Predikat adalah sesuatu
yang dikatakan tentang subjek.
Analisis tata bahasa tradisional mendasarkan pada
kaidah bahasa lain terutama Yunani, Romawi, dan Latin. Semua mafhum bahwa
karakteristiik bahasa Indonesia, misalnya, tidak sama dengan bahasa-bahasa
tersebut. Bahasa Yunani, Romawi, dan Latin tergolong bahasa deklinatif, yaitu
yang perubahan katanya menunjukkan kategori, kasus, jumlah, atau jenisnya
(Kridalaksana,1984: 36), sedangkan bahasa Indonesia tergolong sebagai bahasa
inflektif, yaitu perubahan bentuk katanya menunjukkan hubungan gramatikal
(Kridalaksana, 1984: 75). Oleh karena itu, analisis yang demikian akan menjumpai
berbagai kesulitan, seumpama mematut-patutkan baju orang lain dengan badan
sendiri. Belum tentu pas, bukan?
Logika sebagai filsafat berpikir juga dijadikan
landasan dan orientasi kajiannya. Penyebutan subjek dan predikat dalam kalimat
jelas-jelas menunjukkan bahwa analisis kalimat yang termasuk bidang linguistika
dengan demikian seharusnya menggunakan terminologi linguistika, ternyata
menggunakan terminologi logika. Bukan hanya adopsi terminologi, tetapi
penentuan hubungan subjek-predikat pun terpengaruh oleh pola proposisi
kategorik standar dalam logika (Soekadijo, 1985: 4-5).
Pada 1910, Sasrasoeganda menulis Kitab jang
Menjatakan Djalan Bahasa Melajoe, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana
merupakan buku teks yang sangat berpengaruh di kalangan guru pada waktu itu
(Kridalaksana, 1985: 58). Padahal, buku tersebut jelas-jelas ditulis
berdasarkan tradisi Yunani-Romawi sebagaimana diintroduksi oleh Thrax ataupun
Joannes Ramon. Hal itu terbukti dalam pembahasannya, misal: perkataan nama
benda, perkataan nama sefai, perkataan pengganti nama, perkataan pekerjaan,
perkataan bilangan, perkataan tambahan, perkataan pengantar (baca: preposisi),
perkataan penghubung, dan perkataan penyeru (Kridalaksana, 1985: 60). Buku
Sasrasoeganda tersebut disusun berdasar karya van Wijk (1889) Spraakleer der
Maleiche Taal yang notabene juga memboyong tradisi Yunani-Romawi.
Di Tanah Semenanjung (atau Malaysia), pada 1940
terbit karya Za’ba berjudul Pelita Bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh buku
Winstedt Malay Grammar (1914). Selang dua tahun, pada 1942 di Indonesia terbit
Djalan Bahasa Indonesia karya Soetan Moehammad Zain. Berturut-turut setelah itu
Ilmu Saraf Indonesia (1944) karya B.R. Motik, Tatabahasa Indonesia (1946) karya
Husain Munaf, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1 (1949) karya Sutan Takdir
Alisjahbana, yang setahun kemudian (1950) disusul buku kedua Tatabahasa Baru
Bahasa Indonesia 2. Pada tahun yang sama (1950) terbit juga karya Fokker
Beknopte Grammatica van de Bahasa Indonesia, dan karya Armijn Pane Mentjari
Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. C.A. Mees pada 1953 menulis Tatabahasa
Indonesia, kemudian Poedjawijatna dan Zoetmulder menulis Tatabahasa Indonesia
I, II (1955). Pada 1956 Slametmuljana menulis Kaidah Bahasa Indonesia I, II,
Tardjan Hadidjaja Tatabahasa Indonesia, Batuah Zainnudin Dasar-dasar Tatabahasa
Indonesia. Pada 1964 Soetarna menerbitkan Sari Tatabahasa Indonesia.
Buku-buku tersebut pada masanya dijadikan rujukan
dalam pengkajian maupun pengajaran bahasa Indonesia. Buku-buku itu tergolong
berpendekatan tata bahasa tradisional. Seperti pada buku Mees (1953),
pembahasan kopula adalah, jadi, dan menjadi membuktikan ciri translingual
dengan memindahkan kaidah bahasa Eropa ke dalam bahasa Indonesia. Penjenisan
objek, sebagaimana dilakukan Sutarno (1964: 86), atas (1)objek penderita,
(2)objek pelaku, (3)objek penyerta, dan (4)objek berkata depan menampakkan
pengaruh deklinasi seperti telah dibahas di muka sesungguhnya takbersesuaian
dengan tabiat bahasa Indonesia.
Tidak dikupasnya masalah bunyi (lebih-lebih fonetik)
dalam buku-buku tersebut, dan kalaupun dibicarakan terbatas pada fonem yang
juga dikacaukan dengan grafem, hal itu membuktikan bahwa pengaruh tata bahasa
tradisional yang terpumpun pada bahasa tulis terjadi juga pada buku-buku
tersebut. Alisjahbana, misalnya, tidak menyinggung sedikitpun tentang bunyi,
baik itu fona maupun fonem. Pembahasannya terfokus pada pola suku kata sebagai
dasar pola kata dasar (Alisjahbana, 1980: 10-17). Jadi, fona dan fonem yang
lebih kecil dan mendasari silabel atau suku kata dilewatinya.
Begitupun penjelasan konsep yang terjadi pada
buku-buku tersebut yang banyak didasarkan pada nosi atau makna mengindikasikan
dominasi tradisional pada karya tersebut.
Kalimat tunggal. Yakni
kalimat yang dalam hubungannya dengan yang lain dapat dianggap berdiri sendiri.
Kalimat ini hanya terdiri dari SATU SUBJEK dan SATU PREDIKAT.
Kalimat majemuk. Yakni
kalimat yang terdiri atas beberapa kalimat tunggal. (Sutarno, 1964: 64)
Oleh karena itu, cukup
beralasan untuk mengatakan bahwa sampai dengan sebelum 1965-an perkembangan
linguistik di Indonesia terdominasi oleh tata bahasa tradisional.
Tampaknya, buku Sutan Takdir Alisjahbana perlu
mendapat sejumput pembahasan, dan sayang jika dilewatkan begitu saja pada
tulisan historiografi ini. Mengapa demikian? Kedua buku tersebut sampai dengan
awal 1970-an dicetak ulang lebih dari 20 kali. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia
1, sampai dengan 1970, mengalami cetak ulang ketiga puluh kali. Pada 1976 buku
itu sudah sampai pada cetakan keempat puluh. Begitupun Tatabahasa Baru Bahasa
Indonesia 2, sampai pada 1970, telah mengalami cetak ulang kedua puluh enam,
dan 1978 baru cetak ulang keduapuluh sembilan. Fenomena apakah itu? Jika cetak
ulang itu dapat disikapi sebagai indikator luasnya persebaran kedua buku tersebut,
maka hal itu berarti bahwa paradigma tradisional yang melekat pada kedua buku
tersebut juga begitu meluas (baca: dominan).
2. Periode Dominasi Struktural (1965-an s.d.
1985-an)
Pada
1970 terbit buku Tatabahasa Indonesia: Untuk Sekolah Lanjutan Atas karya Gorys
Keraf. Lewat buku ini aliran struktural mulai dikenal teristimewa dalam bidang
pengajaran bahasa Indonesia. Tampaknya introduksi Keraf bergaung benar. Setiap
tahun buku ini mengalami cetak ulang. Dominasi struktural semakin kokoh, ketika
pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melakukan
perubahan kurikulum dari Rencana Pendidikan dan Pelajaran 1968 ke Kurikulum
1975. Dalam Kurikulum 1975 itu mata pelajaran bahasa Indonesia membagi
pokok-pokok bahasannya dalam 9 pokok bahasan: (1)tata bunyi, (2)tata bentukan,
(3)tata kalimat, (4)paragraf, (5)gaya bahasa, (6)kosa kata, (7)diskusi,
(8)sastra, dan (9)menulis (Yohanes, 1988: 175). Tidakkah pokok-pokok bahasan
itu (terutama keempat pokok bahasan pertama) menyuratkan penancapan struktural
dalam pengajaran bahasa Indonesia?
Berbarengan
dengan itu, pada 11—15 November 1975 di Bandung diselenggarakan Lokakarya
Penyusunan Tatabahasa Bahasa Indonesia yang tiga makalahnya membicarakan tata
bahasa struktural. Makalah yang dimaksud “Penyusunan Tatabahasa Struktural
Bahasa Indonesia” oleh M. Ramlan, “Pedoman Penyusunan Tatabahasa Struktural”
oleh Gorys Keraf, dan “Penyusunan Tatabahasa Struktural” oleh Anton M.
Moeliono, yang kemudian terhimpun dalam Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia
suntingan Yus Rusyana dan Samsuri pada 1976. Buku tersebut sangat jelas
menampakkan orientasi struktural sebagai arah penyusunan tata bahasa bahasa
Indonesia.
Pada
periode ini juga karya M. Ramlan Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi yang
sesungguhnya terbit pertama kali pada 1967, sampai akhir 1970-an mengalami
cetak ulang lima kali. Walaupun baru terbit 1981 bukunya Ilmu Bahasa Indonesia:
Sintaksis bersama buku sebelumnya menandai berkembangnya struktural dalam
kancah linguistik di Indonesia. Begitupun terbitnya karya Samsuri Analisa
Bahasa (1978) membuktikan mencuatnya struktural pada periode ini. Disertasi
Sudaryanto (1979) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Predikat-Objek dalam
Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan merupakan bukti lain perkembangan
teori struktural pada periode ini.
Manakala
perkembangan linguistik di Indonesia tidak dibatasi pada objek bahasa Indonesia
tetapi dicakup juga bahasa-bahasa daerah atau bahasa nusantara, periode ini
semakin memperoleh banyak bukti bahwa struktural mendominasinya. Oleh pacuan
dan picuan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, pada 1970-a ini mulai
semarak penelitian bahasa-bahasa daerah dengan kerangka teori struktural.
Fonologi Bahasa Karo (1972), Morfologi Bahasa Simalungun (1972), Sintaksis
Bahasa Simalungun (1977) oleh H.G. Tarigan merupakan contohnya. Contoh lain
Morfologi Bahasa Gorontalo (1980) oleh Badudu, Struktur Bahasa Makasar (1980)
oleh Djirong Basang, Struktur Bahasa Tehid (1981) oleh Don Al Flassy, Kajian
Morfologi Bahasa Jawa (1982) oleh Uhlenbeck, Sistem dan Struktur Bahasa Sunda
(1983) oleh R.H. Robin, Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon (1985) oleh
Abdurachman, Struktur Bahasa Lampung (1985) oleh Aidy Ruslan Satur, dan
sebagainya.
Tatabahasa struktural mendasarkan analisisnya pada karakteristik bahasa
yang bersangkutan sebagaimana adanya bukan didasarkan pada kaidah bahasa lain.
Dengan demikian, kajiannya bersifat deskriptif. Sesuai namanya, pengkajian
tidak didasarkan pada nosi atau arti, tetapi pada struktur atau perilakunya
dalam sruktur: fona dalam fonem, fonem dalam silabel, silabel dalam leksem,
leksem dalam tagmem (frasa, klausa, kalimat). Untuk menggambarkan struktur
tertentu, struktur tersebut ditempatkan pada kontinum struktur lain yang
melingkupinya.
Simposium tata
bahasa tentang kata majemuk pada 20 Oktober 1979 merumuskan simpulan, di
antaranya sebagai berikut.
1. Prinsip yang harus dipegang di dalam
mengidentifikasikan apakah suatu konstruksi merupakan konstruksi majemuk atau
tidak ialah bahwa konstruksi itu memperlihatkan derajat keeratan yang tinggi
sehingga merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.
2. Sebagai konstruksi yang tak terpisahkan,
konstruksi majemuk berperilaku sebagai kata, artinya masing-masing konstituen
konstruksi hilang otonominya. Hilannya otonomi itu berarti bahwa masing-masing
konstituen tidak dapat dimodifikasikan secara terpisah, maupun di antaranya
tidakdapat disisipkan morfem lain tanpa perubahan atas makna aslinya. (Parera, 1988:
117-118)
Rumusan simpulan tersebut dengan jelas
menunjukkan penggunaan teori struktural dalam pengindentifikasian konstruksi
majemuk seperti tersurat pada istilah (1)konstruksi, (2)kesatuan, (3)konstituen
konstruksi, (4)derajat keeratan, dan (5)disisipi.
Bagaimanakah Ramlan dalam buku Sintaksis
mengidentifikasi kalimat tanya? Kalimat tanya, menurut Ramlan (1981: 33),
berpola intonasi [2] 3// [2] 3 2 Ú. Pola tersebut berbeda dengan pola kalimat
berita [2] 3 // [2] 3 1 Ø, atau pola intonasi kalimat suruh 2 3 Ø atau 2 3 2 Ø
(Ramlan, 1981: 32-45). Pengidentifikasian seperti itu menunjukkan bahwa nosi
tidak lagi menjadi kerangka konsep struktural, melainkan struktur otonom satuan
bahasa yang didesripsikanlah yang dijadikan pijakannya.
3.
Periode Dominasi Transformasional di Tengah Variasi (1985-an s.d. akhir
1990-an)
Pengenalan transformasional salah satunya dilakukan
oleh Samsuri pada dua bab terakhir buku Analisa Bahasa (1980) pada edisi
kedua. Lewat makalah yang disajikan dalam berbagai kesempatan, khususnya
Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya (PELLBA), Bambang Kaswanti Purwo (
dan juga Soenjono Dardjowidjojo) patut dicatat juga sebagai introduktor dan
eksplorator transformasional dalam kajian bahasa Indonesia dan juga
bahasa-bahasa nusantara. Misalnya, dalam Simposium Linguistik 1985 (embrio
PELLBA) berapa teori mutakhir di bidang linguistik disajikan: “Aliran
Transformasional 1957—1965” oleh Samsuri, “Perkembangan Aliran
Transformasional 1965 – Kini” oleh Riga Adiwoso, “Teori Tagmemik”
oleh Stephanus Djawanai, “Tatabahasa Relasional” oleh Bambang Kaswanti
Purwo (Dardjowidjojo, 1987).
Terbitnya dua buku J.D. Parera pada 1988, yaitu Morfologi,
dan Sintaksis semakin mempertegas kecenderungan kajian dengan landasan
teori transformasional. Sebagai contoh penggunaan teori transformasi, Parera
dalam salah satu babnya menguraikan secara transformasional kata petinju
dan peninju sebagai berikut (Parera, 1988a: 28).
petinju = Nor + ber—Vd > pe – Vd
peninju = Nor + meN—Vd > peN -- Vd
Contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam tata bahasa
transformasional, struktur dalam (deep structure) ditransformasikan ke
struktur luar (surface structure). Secara generatif transformasional
kata, petinju dibentuk melalui verba bertinju, sedangkan kata peninju
dibentuk melalui verba meninju. Jadi, pembentukan itu tidak langsung
dari dasar tinju.
Kalimat “Ia membaca buku.”, misalnya,
berdasarkan kaidah transformasional akan diterangkan sebagai berikut.
1. K Õ GB + GK
2. GB Õ N1
3. GK Õ V + N2
4. N1 Õ ia
5. V Õ membaca
6. N2 Õ buku
Secara transformasional, Kalimat itu
terbentuk oleh Gatra Benda plus Gatra Kerja.
Pengisi Gatra Benda adalah Nomen ia, sedangkan
pengisi Gatra Kerja adalah Verbum membaca, dan Nomen
buku. Dengan model analisis immediate contstituents (IC) yang
diintroduksikan oleh Chomsky, kalimat tersebut berdiagram pohon (diagram akar)
sebagai berikut.
Penggunaan teori transformasional tersebut semakin
tampak pada Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI) yang diterbitkan
bersamaan dengan Kongres Bahasa V, pada 1988. Walaupun TBBI memperlihatkan
keeklektisan teori-teori, namun transformasional cukup ambil peran.
Perhatikanlah bagaimana TBBI menerangkan morfologi verba, nomina,
ataupun adjektiva. Istilah ‘penurunan’ senantiasa digunakan untuk itu (Alwi,
1993: 144-163)
4.6.1 Penurunan Verba Taktransitif
4.6.1.1 Verba Taktransitif Asal
4.6.1.2 Penurunan Verba Taktransitif dengan meng-
4.6.1.3 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber-
4.6.1.4 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber--kan
4.6.1.5 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber--an
4.6.1.6 Penurunan Verba Taktransitif dengan ter-
4.6.1.7 Penurunan Verba Taktransitif dengan ke--an
4.6.1.8 Penurunan Verba Taktransitif dengan
Perulangan
Pada bab Nomina, Pronomina, dan Numeralia,
khususnya penurunan nomina dengan per—an, misalnya, digunakanlah uraian dan
contoh berikut (Alwi, 1993: 258-259)
“Nomina dengan per – an juga diturunkan dari verba,
tetapi umumnya dari verba taktransitif dan berawalan ber-. Akan tetapi, ada
pula nomina per – an yang berkaitan dengan verba meng- atau memper- yang
berstatus transitif.
perjanjian ->berjanji
pergerakan -> bergerak
pergelaran -> menggelar
pertahanan -> mempertahankan
perlawanan -> melawan
permintaan -> meminta
Meski demikian,
teori-teori lain baik yang sebelumnya sudah diintroduksi maupun teori baru
terus dikembangkan sehingga menampakkan kevariasian teori. Variasi teori tampak
pada penerbitan karya-karya terjemahan dari buku-buku babon di ilmu bahasa oleh
ILDEP. Misalnya, Ilmu Bahasa:
Pengantar Dasar (1982) karya Unlenbeck, Ilmu Bahasa: Pengantar (1987) karya Andre Marinet, Ilmu Bahasa Lapangan (1988) karya
William J. Samarin, Pengantar
Linguistik Umum (1988) karya Ferdinand de Saussure, Bahasa Indonesia: Deskripsi dan Teori
(1991) karya N.F. Alieva dkk.,
Linguistik Umum (1992) karya R.H. Robins. Karya John Lyons Pengantar Teori Linguistik (1995)
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Di dunia pengajaran bahasa Indonesia, pada 1984
terjadi inovasi penggunaan pendekatan komunikatif pragmatikal yang menggeser
pendekatan strukural gramatikal. Tentu saja asumsinya bahwa pendekatan tersebut
tidak dapat dipisahkan dari teori bahasa yang mendasarinya. Pada 1994, ketika
terjadi perubahan kurikulum, dalam pengajaran bahasa Indonesia penggunaan
pendekatan komunikatif pragmatikal semakin dikukuhkan dalam label pendekatan
tematis, integratif, dan komunikatif (Yohanes, 1993: 1-4). Terkait dengan
masuknya pragmatik dalam kancah studi linguistik di Indonesia, penelitian
Bambang Kaswanti Purwa Deiksis dalam Bahasa Indonesia (1984) patut
dicatat sebagai pelopornya. Begitupun penerbitan terjemahan buku babon bidang
pragmatik seperti Prinsip-Prinsip Pragmatik (1995) karya Geoffry Leech,
dan Analisis Wacana (1996) karya Gillian Brown dan George Yull
membuktikan kevariasian yang terjadi pada periode ini. Pemasukan bab Wacana dalam
TBBI (1988) memperkuat gambaran kevariasian pada periode ini.
Kevariasian juga mewarnai periode ini dengan
perkembangan ilmu-ilmu hibridis di bidang bahasa. Misalnya, hibrida antara
psikologi dan linguistik seperti karya Sri Utari Subyakto-Nababan Psikolinguistik:Suatu
Pengantar (1988), karya Soenjono Dardjowidjojo Echa: Kisah Pemerolehan
Bahasa Anak Indonesia (2000), hibrida antara sosiologi dan linguistik yang
menjadi sosiolinguistik seperti Sosiolinguistik (1985) karya Chaedar
Alwasilah, Sosiolinguistik (1987) karya Mansoer Pateda, atau Sosiologi
Bahasa (1988) karya Suwito. Lembaga Bahasa Atma Jaya bersama BPPT pada 1988
merintis hibrida antara ilmu komputer dan linguistik yang melahirkan linguistik
komputal.
Pada 1993, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)
menerbitkan Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya dalam dua
jilid. Dalam bunga rampai ini terhimpun tulisan antara 1988-1991 dari para
anggota MLI. Tulisan-tulisan itu menampakkan adanya ciri kevariasian teori yang
berkembang selama periode tersebut. “Transformasi Pemindahan dalam Bahasa
Mandar” karya Ba’dulu, “Interaksi Negasi dengan Numeralia” karya
Sudaryono, “Suatu Kajian Verba Kausatif Indonesia” karya Garantjang,
sekadar contoh kajian transformasional dalam bunga rampai tersebut. “Ketegaran
Letak Keterangan Cara, Tempat, dan Waktu dalam Bahasa Indonesia” tulisan
Dhanawaty, “Kata sebagai Satuan Sentral Kajian Morfologi: Ancangan Dasar
Morfologi Struktural” tulisan Ekowardono, keduanya menggunakan teori
struktural. “Kesatuan Topik dalam Wacana Eksposisi, Deskripsi, dan Narasi
dalam Bahasa Indonesia” tulisan Baryadi menerapkan pendekatan analisis
wacana. Tulisan yang terhimpun dalam jilid II diikat oleh kajian yang bersifat
hibridis, dan terapan. “Tingkat Tutur Bahasa Melayu Palembang” karya
Arifin, “Beberapa Konsep Semantik Murni dan Kaitan Mereka dengan Ragam
bahasa Ilmiah” karya Sukemi, “Bentuk Tutur Pedagang Kaki Lima Kotamadya
Semarang” karya Suryadi, adalah contoh kajian dari perspektif
sosiolinguistik. Yang terapan tampak pada “Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Daerah: Kasus dalam Bahasa Bali” oleh Sumarsono, “Pengajaran Bahasa
Indonesia di Sekolah Dasar” oleh Purwo.
4.
Periode Warna-warni Teori (Awal 2000-an)
Oleh sebab perkembangan seperti tergambar pada
periode sebelumnya, kini (pada awal 2000-an), studi linguistik di Indonesia
berwarna-warni ibarat taman bunga. Hal itu dapat dipahami karena seperti telah
dikatakan sebelumnya ciri yang ada pada periode sebelumnya tidak berarti
stagnan atau mandeg pada periode berikutnya. Pada periode tertentu yang terjadi
hanyalah dominasi teori tertentu, akan tetapi teori lain yang berkembang pada
periode sebelumnya tidak berarti mati. Sebab lain adalah periode ini dengan
demikian merupakan muara akhir atau akumulasi teori-teori yang pernah berlaku.
Kewarna-warnian itu dapat dilihat bahwa kajian berdasar
teori tradisional pada periode ini masih juga mewarnai peristiwa linguistis
(penelitian ataupun pengajaran) bahasa Indonesia. Demikianpun kajian berdasar
teori struktural, transformasional. Apalagi kajian pragmatik, psikolinguistik,
sosiolinguistik, ekologilinguistik. Beberapa tulisan yang terhimpun dalam PELLBA
16 (2003), misalnya dapat memperjelas mozaik tersebut. Tulisan Bernard
Comrie “Some Thoughts on ‘give’ in Austronesian and Papuan Languages”
memadukan kajian gramatikal dan pragmatikal, Bambang Kaswanti Purwo “Konstruksi
Bitransitif: Tipe ‘beri’ dan ‘beli’ didasarkan atas strukural dan
transformasional, dan tulisan I Wayan Arka “Tatabahasa Leksikal-Fungsional:
Prinsip-prinsip Utama dan Tantangannya bagi Analisis Bahasa Nusantara”
didasarkan pada teori tradisional, termasuk juga tulisan Peter Austin “The
Linguistic Ecology of Lombok, Eastern Indonesia” memadukan ekologi dan
linguistik.
Dalam tatapan perkembangan linguistik, kondisi
tersebut harus disikapi sebagai hal postif. Di masa datang (barang kali 2005,
atau 2010, atau entah kapan) karena sifat bangsa Indonesia yang gemar
mengharmonisasikan keragaman dan keperbedaan, dapat diharapkan muncul teori
baru. Siapa tahu? Atau barang kali setelah beragam teori itu diaplikasikan
dalam repertoar bahasa-bahasa di Indonesia, akan muncul juga teori baru sebagai
pemberontakan atas ketidakcocokan teori dengan karakteristik bahasa-bahasa di
Indonesia. Siapa tahu? Dengan kata lain, kevariasian itu diharapkan bermuara
pada keeklektisan, yaitu keterpaduan keunggulan beragam teori dengan repertoar
bahasa-bahasa di Indonesia, akhirnya melahirkan teori berkarakteristik
Indonesia.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar